Fenomena Berita Hoax di Media Sosial

Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Jadi sebenarnya berita atau informasi hoax adalah berita atau informasi palsu atau tidak benar namun dibuat seolah-olah benar apa adanya.Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang atau kejadian sejatinya. Begitu “sempurnanya” berita hoax dalam membuat, mengemas dan menyajikan informasi, maka masyarakat menjadi semakin mudah mempercayainya. Faktor emosi yang tersulut karena berita bohong tersebut membuat dorongan kuat untuk makin mem-viral kan berita hoax. Biasanya isu-isu seputar SARA adalah konten berita yang paling mudah menyulut provokasi.

Berita hoax semakin sulit dibendung walaupun sampai dengan 2016 pemerintah telah memblokir 700 ribu situs, namun setiap harinya pula berita hoax terus bermunculan. Pada Januari 2017 pemerintah melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang mengandung konten negatif, namun kasus pemblokiran tersebut tidak sampai menyentuh meja hijau. Beberapa kasus di indonesia terkait berita hoax telah memakan korban, salah satunya berita hoax akan penculikan anak yang telah tersebar di beberapa media sosial dan menyebabkan orang semakin waspada terhadap orang asing.


Gambar : tribunnews

Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax. Selain produk hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan Badan Siber Nasional yang  dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan, selain memanfaatkan program Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Sikap pemerintah dalam fenomena berita hoax dipaparkan dalam beberapa pasal yang siap ditimpakan kepada penyebar hoax tersebut antara lain, KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Tidak hanya itu, penyebar berita hoax juga dapat dikenakan pasal terkait ujaran kebencian dan yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP.

Manusia jaman sekarang hidup dalam dunia maya dan hamper semua orang di dunia memiliki akun media sosial. Media sosial memungkinkan penggunanya untuk terhubung dan berkomunikasi dengan orang lain di seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan biaya perjalanan yang sangat besar. Kehadiran media sosial yang menyajikan fitur interface communication seperti video call dapat mengabulkan keinginan seseorang untuk dapat bertemu dengan orang lain. Mereka dapat saling bercakap-cakap secara langsung, seolah melihat kehadiran fisik orang yang diajak berbicara. Media sosial pulalah yang dituding sebagai biang keladi penyebaran berita hoax. Bagaimana tidak? Untuk menyebarkan sebuah berita, media sosial memiliki kemampuan sharing (berbagi), copy link, copy and paste dan sejumlah fasilitas lain yang memang ditujukan untuk meningkatkan interaksi sesame penggunanya.

Berita hoax di satu sisi membuat masyarakat semakin waspada, lebih hati-hati dan lebih teliti dalam menyikapi atau mengambil keputusan tentang suatu hal. Di sisi lain, berita hoax biasanya malah membuat  sebagian masyarakat laini menjadi semakin takut, kuatir dan was-was. Berita hoax yang menjadi viral dapat menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat. Misalnya, berita hoax tentang adanya anak tikus dalam kemasan minuman kaleng beberapa waktu lalu membuat masyarakat semakin hati-hati dalam mengkonsumsi minuman kaleng. Mereka yang mengkonsumsi minuman kaleng menjadi lebih mengutamakan kebersihan yaitu dengan membersihkan kaleng minuman sebelum diminum karena biasanya minuman kaleng ditumpuk dan diletakkan begitu saja sehingga kadang beberapa hewan atau serangga sudah lebih dahulu ‘mampir’, menuangkan minuman kedalam gelas terlebih dahulu sebelum dikonsumsi sehingga apabila terdapat sesuatu yang berbahaya dalam minuman tersebut dapat langsung diketahui, mengecek kondisi fisik minuman kaleng (apakah penyok dll) dan mengecek tanggal kadaluarsa. Di sisi lain, berita hoax tersebut sempat membuat angka penjualan minuman kaleng menurun dan kerugian dari sisi produsen.

Rasionalisme dalam Pengetahuan tentang Berita Hoax
Berbagai analisa dipaparkan untuk mengetahui bagaiamana berita palsu yang menguasai banyak orang. Mark Zuckerberg, pemilik Facebook berjanji akan mengatasi berita-berita palsu di Facebook. Zuckerberg meng-klaim, sejauh ini berita palsu yang beredar di Facebook hanya satu persen. Artinya, 99 % berita di Facebook bersifat otentik dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kendati demikian, pengguna media sosial perlu memahami kenyataan yang ada dan dapat dilihat dari perilaku pengguna media sosial. Konsep filter bubble-konsep algoritma yang membaca perilaku pengguna media sosial. Eli Pariser berargumen, siapa yang kita pilih sebagai teman, link berita yang kita bagi, halaman favorit yang kita suka, dan tautan yang kita buka, dibaca oleh filter bubble dan membentuk identitas kita di media sosial.

Menurut Pariser, mesin algoritma Facebook dan Google akan memetakan identitas kita lalu mengirim newsfeed sesuai selera identitas itu. Jika kita penggemar fotografi, newsfeed yang ditawarkan akan tidak jauh dari urusan fotografi. Bila ada kita tergabung dengan komunitas sepeda balap misalnya, maka newsfeed kita akan penuh dengan orang-orang yang menggemari kegiatan serupa.

Dalam skala pribadi pengguna media sosial akan dikurung oleh minat dan kecenderungan yang homogen, linier, sewarna. Setiap pengguna hidup dalam alam maya, yang pilihan dan tampilan newsfeed mereka menunjukkan "warna egoisme” yang khas. Ketika egoisme makin kuat dalam interaksi maka pertama, warna itu akan semakin kuat, menggumpal, menyatu, mengelompok dalam nuansa warna yang sama. Kedua, warna egoisme itu akan bertemu dalam bingkai kepentingan yang berbeda, saling bertarung, saling mendominasi, saling menguasai, saling menyingkirkan satu sama lain. Berita hoax menemukan lahan subur pada dua kenyataan itu. Setiap warna egoisme itu memerlukan penegasan atau penegasian untuk menguatkan eksistensisme.

Homogen warna identitas yang dihasilkan konsep filter bubble akan membentuk deret hitung konsekuensi, dampak, resiko, bencana yang sangat panjang. Dimulai dari memutuskan tali pertemanan (unfriend) sampai pada potensi makar hingga skala yang lebih luas. Mindset berpikir mudah digiring, dikendalikan, diarahkan sesuai dengan kepentingan tertentu.

Warna egoisme yang berhasil diidentifikasi oleh konsep filter bubble itu tak lain adalah gambaran diri subjektif pengguna media sosial. Diri subjektif ini sangat mudah terkontaminasi agenda atau keinginan. Yang menjadi panglima diri subjektif adalah rasa suka dan tidak suka. Bukankah rasa suka dan tidak suka menjadi model interaksi di Facebook?

Rasa suka atau tidak suka akan menghalangi objektivitas dan kecendrungan untuk melihat kebenaran. Bila kita menyukai berita-berita di TVOne misalnya, maka semua yang disajikan TVOne akan menjadi sangat menarik dan penting bagi kita. Kalaupun ada informasi yang tidak benar yang disajikan TVOne, maka kita akan cenderung mengabaikan kebenaran tersebut dan menganggap TVOne adalah media terbaik bagi kita berbeda dengan MetroTV misalnya.

Empirisme dalam Pengetahuan tentang Berita Hoax
Rasionalisme bukan satu-satunya cara melawan berita hoax, walaupun Zuckerberg menyebut hal pertama yang akan dilakukan dalam perang melawan berita bohong ini adalah memperbaiki teknologi untuk mengenali mana berita palsu sebelum mereka menyadarinya. Persoalan bahwa setiap pengguna media sosial telah dililit oleh egoisme suka dan tidak suka menurut Zuckerberg akan diperbaiki melalui teknologi eksternal sementara  pengguna media  sosial memperbaiki teknologi internal. Selain itu, pengguna media sosial juga harus ‘melek’ literasi dengan meningkatkan kemampuan literasinya melalui proses pencarian di media lain. Untuk mengetahui kebenaran sebuah berita, pengguna media sosial juga bisa mencari tahu apakah sumber informasi tersebut dapat dipercaya.

Kebebesan pers di era reformasi membuat makin bertumbuhnya media online. Media online berprinsip dalam hal kecepatan dan kadang mengabaikan kebenaran. Mereka berlomba untuk menjadi yang tercepat dalam penyampaian informasi tanpa menyajikan news in depth (kedalaman informasi/berita).

Hoax memang jahat, tetapi hoax juga bisa ditempatkan sebagai sebagai alat pembanding atau alat untuk meningkatkan “kepercayaan masyarakat” terhadap media-media mainstream, karena itu menjadi tugas media mainstream dan Dewan Pers untuk terus menjaga kepercayaan masyarakat untuk pemberitaan yang resmi, jangan malah media mainstream ikut-ikutan menyebarkan berita Hoax. Salah satu media mainstream, Jawa Pos misalnya, telah menyediakan rubrik khusus yang bertujuan untuk mengklarifikasi kebenaran sebuah berita.

Orang bebas melakukan apa saja didunia maya, tetapi tetap dengan kesadaran bahwa dalam setiap kebebasan selalu berhimpit dengan akutabilitas (tanggung jawab), dan tanggung jawab itu adalah hukum dan peraturan perundang-undangan. Artinya setiap perbuatan kita yang diekspresikan melalui dunia maya termasuk membuat berita hoax dibatasi oleh Undang-undang, tidak boleh menghina atau mencemarkan nama baik orang, tidak boleh melakukan perjudian, tidak boleh melanggar kesusialaan atau tidak boleh melakukan pengancaman atau pemerasan(Pasal 27 UU ITE). Artinya lagi kita harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang merugikan orang lain.

Untuk mengetahui kebenaran berita hoax memang tak cukup hanya dengan mengandalkan rasio, tapi diperlukan juga pengalaman. Bergabunglah dengan komunitas anti hoax yang banyak ditawarkan di dunia maya. Dengan semakin mendekatkan diri pada orang atau kelompok yang memiliki visi yang sama misalnya untuk memberantas berita hoax, maka mindset kita secara otomatis akan mem-filter sebuah informasi yang kita terima dengan lebih dahulu mengecek kebenarannya.

Pengalaman anggota kelompok suatu komunitas anti berita hoax akan membuat kita lebih aware terhadap berita hoax. Orang yang pernah termakan isu tentang bagi-bagi sembako gratis yang ternyata adalah berita hoax misalnya,  akan tidak mudah percaya bila ada informasi serupa yang sampai kepadanya. Pengalaman mengajarkan kepada kita untuk lebih berhati-hati supaya tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik?. (Camelia Ariestanty/www.cameliaaries.com)

PENTING : Ini adalah tulisan asli penulis. Pencantuman link dan identitas penulis diharuskan pada setiap aktivitas copy paste. Menulislah dengan santun sehingga kami akan sangat menghargai Anda.

Comments

Popular Posts