KELAS SOSIAL, GAYA HIDUP DAN PERILAKU KONSUMEN


Kelas sosial seperti dipaparkan oleh Nugroho J. Setiadi dalam Buku Perilaku Konsumen  Konsumen Perspektif  Kontemporer pada Motif, Tujuan, dan Keinginan Konsumen (2003:227) mengacu pada pengelompokkan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di pasar. Kelompok status mencerminkan suatu harapan komunitas akan gaya hidup di kalangan masing-masing kelas dan juga estimasi sosial yang positif atau negatif mengenai kehormatan yang diberikan kepada masing-masing kelas.
Foto : Tribunnews.com
Kelas sosial seperti yang diklasifikasikan oleh Coleman (dalam Susanto,2010) menjadi tujuh kelas sosial masing-masing kelas atas-atas, atas-bawah, menengah-atas, menengah, pekerja, bawah-atas, bawah-bawah. Hal tersebut  terkait dengan konsep diri (self-concept) dimana konsumen tersebut menganggap produk-produk tersebut dapat membantunya untuk mengekspresikan citra apa yang ingin dipancarkan (Setiadi, 2003:81).
Weber seperti dicuplik dari Buku Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (George Ritzer, 2012:217) menyatakan bahwa kelas bukanlah sutu komunitas. Lebih tepatnya, suatu kelas adalah sekelompok orang yang mungkin dan terkadang kerap, bertindak berdasarkan situasi yang dialami bersama (K.Smith, 2007).
Mengapa ada orang yang hanya mengeluarkan uang yang sedikit untuk membeli produk sementara orang lain rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk membeli produk yang sebenarnya tidak benar-benar mereka butuhkan?. Semuanya karena gaya hidup. Gaya hidup sederhana yang hanya mengkonsumsi kebutuhan mendasar saja dimiliki oleh masyarakat kelas bawah.  Uang yang mereka miliki berfokus untuk pengeluaran makan, minum, dan pakaian. Untuk menyekolahkan anak saja kadang mereka kesulitan apalagi membeli rumah. Kelas atas akan lebih sering  mengkonsumsi barang-barang mewah dengan harga fantastik tanpa rasa bersalah, meletakkan barang tersebut seenaknya dengan pikiran “nanti kalau rusak, kan bisa beli lagi”. Semakin tinggi kelas sosial maka gaya hidup yang mengikutinya semakin tinggi pula.
Konsumen kelas atas memiliki minat yang tinggi terhadap produk-produk limited edition. Semakin sedikit sebuah produk diproduksi, maka semakin besar keinginan mereka untuk memilikinya karena berarti produk tersebut bukan merupakan produk massal, yang banyak digunakan orang sehingga terkesan ‘pasaran’ dan ‘murahan’. Tentu saja, produk limited edition dijual dengan harga yang tinggi karenanya hanya orang-orang dari kelas atas lah yang mampu membelinya. Inilah mengapa, konsumen kelas atas dinilai sangat konsumtif. Mereka membeli barang kadang bukan sekedar hanya karena fungsinya, mereka sangat berorientasi pada brand ternama dengan berfokus pada sebuah produk yang mahal pasti bagus kualitasnya sehingga mereka cenderung tidak rasional dalam berbelanja. Orang kelas atas lebih emosional ketika berbelanja dan kadang mengabaikan rasio mereka.
Pada masa kini contohnya, telepon genggam bukanlah produk mewah karena hampir setiap orang memilikinya. Orang dari kelas bawah mungkin hanya membeli telepon genggam sekedar untuk berkomunikasi dan mengirimkan Short Message Service (SMS), sedangkan kelas atas memilih sebuah telepon genggam yang bukan hanya karena fungsinya tapi juga ‘gengsi’ yang dibawanya. Mereka tidak berbicara masalah harga bahkan apakah fitur dalam telepon genggam itu sudah sesuai dengan kebutuhannya karena nyatanya banyak fitur atau aplikasi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Namun karena merk seperti Apple atau merk-merk high end lainnya lah yang membuat mereka membeli produk tersebut. Semua itu karena mereka ingin diakui bahwa mereka memang berada di kelas atas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup konsumen dapat dibagi menjadi faktor internal (sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif dan persepsi) dan faktor eksternal (kelompok referensi, keluarga, kelas sosial dan kebudayaan). Terkait kelas sosial terdapat dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peranan. Bila kedudukan diperoleh dari kelahiran maka peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (Priansa, 2017:192).
Dalam pandangan teori konsep diri manusia mempunyai pandangan dan persepsi atas dirinya sendiri. Konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu adalah berupa penilaian-penilaian terhadap dirinya sendiri. Colley dalam Rahmat (2005) menyebut gejala seperti itu looking glass self (cermin diri) dimana individu menilai bagaimana diri mereka memandang mereka sendiri. Konsep diri yang ada pada konsumen dapat berhubungan dengan sifat-sifat seperti bahagia, keberuntungan, modern, praktis, energetis, serius, pengendalian diri, kesuksesan, sensitif dan agresif (Setiadi, 2003:75).
Itulah mengapa orang-orang dari kelas atas yang merasa sukses dan memiliki kekayaan berlimpah dikatakan sebagai orang sukses. Mereka membanjiri dirinya dengan simbol-simbol kesuksesan dan kemapanan. Kekayaan sudah menjadi gaya hidup keseharian mereka. Mereka cenderung lebih konsumtif karena mereka merasa bahwa kekayaan mereka melimpah dan bisa membeli segalanya.
Pada posisi kelas sosial apa seseorang berada akan nampak dari gaya hidup dan perilakunya. Orang yang menenteng tas kresek adalah masyarakat kelas bawah sementara orang yang keluar dari Zara akan dikenali sebagai konsumen kelas atas tanpa melihat apa sebenarnya isi tas tersebut. Bisa saja isi tas Zara itu adalah hanya kain lap kotor atas kaus bekas pakai dan sebaliknya tas kresek tadi berisi gulungan uang atau bongkahan emas namun orang lain terlanjur memberikan penilaian dari simbol yang ditampilkan. Simbol Zara diartikan sebagai mahal, sukses dan modern yang lekat dengan orang dari kelas atas. Sementara tas kresek adalah murah, miskin dan kuno.
Venu Madhav, Executive Director of Client Leadership Nielsen (2011) mengatakan bahwa konsumen kelas atas lebih mencari produk yang menjawab kebutuhan gaya hidup dan kesehatan mereka. Produk itu memberikan mereka manfaat lebih dan nilai tambah. Untuk kelas atas, mereka memilih produk yang menjawab kebutuhan hidup, kenyamanan dan kesehatan mereka (https://www.viva.co.id/berita/bisnis/).
Semakin tinggi penghasilan seseorang atau semakin mapan mereka dari sisi penghasilan dan pendapatan, maka semakin tinggi pula tingkat konsumerisme mereka. Pola konsumsi pada masyarakat kelas bawah tentu berbeda dengan pola konsumsi masyarakat kelas atas. Konsumen kelas atas adalah konsumen yang hedonis dimana kesenangan dan kenikmatan menjadi tujuan hidup mereka. Shet et al dalam Setiadi (2003:105) seperti dicuplik dari Buku Perilaku Konsumen Pendekatan Praktis (Sangadji dan Sopiah, 2013:163) menyatakan empat tipe konsumsi hedonis, yaitu kesenangan indriawi (sensory pleasure), seperti sauna, menggunakan parfum dan kolonye; kesenangan estetis (aesthetic pleasure), seperti mengunjungi galeri seni, membaca puisi, dan membeli lukisan; pengalaman emosional (emotional pleasure), misalnya naik roller coaster atau nonton film; kesenangan dan hiburan (fun and enjoyment), misalnya berolahraga, menari, bermain permainan video dan berlibur.
Tindakan pembelian suatu produk tentu tak lepas dari motivasi yang mendasari perilaku. Mengapa ada orang yang membeli produk A dan orang lain membeli produk B?. Marilah kita lihat definisi motivasi itu sendiri. Definisi motivasi menurut American Encyclopedia (Setiadi, 2003:25) adalah kecenderungan (suatu sifat yang merupakan pokok pertentangan) dalam diri seseorang yng membangkitkan topangan dan tindakan. Motivasi meliputi faktor kebutuhan biologis dan emosional yang hanya diduga dari pengamatan tingkah laku manusia.
Motivasi seperti yang diterangkan oleh teori Robert Maslow, dimulai dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis seperti lapar dan haus, disusul kebutuhan-kebutuhan keselamatan (perasaan aman, perlindungan), kemudian kebutuhan-kebutuhan sosial (perasaan menjadi anggota lingkungan dan dicintai), selanjutnya kebutuhan-kebutuhan untuk dihargai (harga diri, pengakuan, status) dan mengkerucut ke kebutuhan-kebutuhan pernyataan diri (pengembangan dan perwujudan diri).
Donni Juni Priansa dalam bukunya yang berjudul Perilaku Konsumen dalam Persaingan Bisnis Kontemporer (2017:158) menyatakan bahwa motivasi konsumen tidak dapat diamati atau diukur secara langsung namun dapat disimpulkan dari sikap dan perilaku yang nampak dan ditampilkan oleh konsumen ketika melakukan pembelian. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki konsumen maka semakin kuat minat konsumen tersebut dalam mengkonsumsi produk.
Emosi dan mood states memainkan peranan penting dalam pengambilan proses keputusan konsumen, mulai dari identifikasi masalah sampai perilaku purnabeli. Umumnya setiap produk yang tangible dan intangible memiliki ‘makna simbolik’ (Belk, 1988:Levy dalam Holbrook dan Hirschman,1992). Peranan simbolis sangat penting dan dominan dalam berbagai kasus, terutama dalam hedonic consumption (Setiadi,2003:36).
Keinginan untuk mencari dan mendapatkan kesenangan serta kenikmatan bagi kelas atas membuat motivasi pembelian mereka pada produk tertentu semakin tinggi. Produk yang dapat memuaskan dan memberikan kenikmatan adalah produk yang mereka cari. Konsumen kelas bawah berpendapat bahwa “makan apapun yang penting kenyang” namun konsumen kelas atas berpendapat bahwa makan bukan hanya sekedar mengenyangkan. Makan bukanlah mengapa (saya harus makan), apa (yang saya dimakan) namun lebih pada dimana (saya makan), dengan siapa (saya makan) dan bagaimana proses makan itu berjalan. Makan bagi konsumen kelas bawah adalah untuk membuat kenyang dengan harga makanan yang murah. Apakah makanan itu diolah secara higienis, bagaimana rasanya dan bagaimana kondisi tempat makan adalah kondisi yang kurang diperhatikan. Karena ingin mencapai kenikmatan dan kesenangan dari prosesi makan, maka konsumen kelas akan memilih menu terbaik apa yang akan mereka makan, makanan dengan cita rasa tinggi, disajikan dengan mewah (fine dining) dan makan di rumah makan mewah. Prosesi makan juga menjadi ajang pertemuan bisnis bagi masyarakat kelas atas. Mereka menganggap bahwa acara makan bersama itu akan menghasilkan kesepakatan bisnis yang akan berpengaruh pada kelangsungan bisnis mereka. Karena mereka berpendapat bahwa makan mewah tidak akan mengurangi pendapatan mereka.
"Kelompok (kelas atas) masyarakat ini memilih menghabiskan uangnya untuk kegiatan yang bersifat leisure seperti untuk rekreasi atau gaya hidup baru seperti ke restoran (makan)," ujar Sri Soelistyowati, Deputi Bidang Neraca dan Analisa Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) dalam seminar perekonomian di Hotel Borobudur, Jakarta, seperti dikutip dari https://beritagar.id/artikel/berita/kelas-atas-senang-berlibur-menengah-tahan-belanja.

Bagaimana konsumen memandang tentang dirinya akan sangat mempengaruhi minatnya terhadap suatu produk. Konsep diri seperti itu merupakan inti dari pola kepribadian yang akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal timbulnya perilaku yang ditampilkan oleh konsumen (Priansa, 2017:191).
Seberapa pentingkah orang lain menilai kita?. Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis (dalam Rakhmat, 1989:99) mencoba menjawab misteri keberadaan, The Mystery of Being, menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita. “The fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only by starting from them” yang artinya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana Anda menilai diri saya, akan membentuk konsep diri saya.
Supaya dianggap “lebih tinggi” dari orang lain maka keinginan untuk membentuk citra pada kalangan kelas atas semakin tinggi. Keinginan itu berakibat pada semakin besar biaya yang harus mereka keluarkan untuk menunjukkan jati dirinya dan untuk menunjukkan kelas sosialnya.
Pengaruh faktor sosial menjadi salah satu faktor utama penentu keputusan pembelian konsumen selain faktor psikologis dan faktor situasional (Sangadji dan Sopiah, 2013:24). Orang kelas bawah akan minum kopi untuk menghilangkan rasa kantuk tapi konsumen kelas atas akan rela membeli kopi seharga lima puluh ribu rupiah di Starbucks sambil membuka laptop dan melakukan swafoto atau selfie dilanjutkan dengan upload ke media sosialnya hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang kelas sosialnya.
John C. Mowen dan Michael Minor mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi tentang unit pembelian dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi berbagai produk, jasa, dan pengalaman serta ide-ide. Menurut Lamb, Hair dan Mc.Daniel menyatakan bahwa perilaku konsumen adalah proses seorang pelanggan dalam membuat keputusan untuk membeli, menggunakan serta mengkonsumsi barang-barang dan jasa yang dibeli, juga termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian dan penggunaan produk (Rangkuti,2002:91). Menurut Engel, Blackwell dan Miniard, menyatakan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Perilaku konsumen dapat disarikan dari semua definisi diatas sebagai studi tentang proses pengambilan keputusan oleh konsumen dalam memilih, membeli,memakai serta memanfaatkan produk,jasa,gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasrat konsumen. (Camelia Ariestanty/www.cameliaaries.com)
Daftar Pustaka
Damiati. (2017). Perilaku Konsumen. Depok : PT Rajagrafindo Persada.
Priansa, Donni Juni. (2017). Perilaku Konsumen dalam Persaingan Bisnis Kontemporer.  Bandung : Alfabeta.
Rakhmat, Jalaluddin. (1989). Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Ritzer, George,. (2012). Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Edisi Kedelapan. New York : McGraw-Hill.
Sangadji, Etta Mamang., dan Sopiah. (2013). Perilaku Konsumen Pendekatan Praktis disertai Himpunan Jurnal Penelitian. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Schiffman,G., dan Kanuk, L. L. (2008). Consumer Behaviour. Seventh Edition. New Jersey : Prentice-Hall.
Setiadi, Nugroho J. (2003). Perilaku Konsumen Perspektif Kontemporer pada Motif, Tujuan, dan Keinginan Konsumen. Jakarta : Prenadamedia Group.

PENTING : Ini adalah tulisan asli penulis. Segala aktivitas copy paste diwajibkan mencantumkan identitas dan link ini.

Comments

Popular Posts